HADITS TENTANG LARANGAN BERZINA
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ : الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
[رواه البخاري ومسلم]
Terjemah hadits / ترجمة الحديث :
Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Ilahi selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) adalah utusan Allah kecuali dengan tiga sebab : Orang tua yang berzina, membunuh orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari jamaahnya.
(Riwayat Bukhori dan Muslim)
Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
1. Tidak boleh menumpahkan darah kaum muslimin kecuali dengan tiga sebab, yaitu : zina muhshon (orang yang sudah menikah), membunuh manusia dengan sengaja dan meninggalkan agamanya (murtad) berpisah dari jamaah kaum muslimin.
2. Islam sangat menjaga kehormatan, nyawa dan agama dengan menjatuhkan hukuman mati kepada mereka yang mengganggunya seperti dengan melakukan zina, pembunuhan dan murtad.
3. Sesungguhnya agama yang disepakati adalah yang dipegang oleh jamaah kaum muslimin, maka wajib dijaga dan tidak boleh keluar darinya.
4. Hukum pidana dalam Islam sangat keras, hal itu bertujuan untuk mencegah (preventif) dan melindungi.
5. Pendidikan bagi masyarakat untuk takut kepada Allah ta’ala dan selalu merasa terawasi oleh-Nya dan keadaan tersembunyi atau terbuka sebelum dilaksanakannya hukuman.
6. Hadits diatas menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan dan kesucian.
7. Dalam hadits tersebut merupakan ancaman bagi siapa yang membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah ta’ala.
JANGAN DEKATI ZINA
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya :
“Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Israa’: 32)
Penjelasan makna ayat
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَ
Dan janganlah kalian mendekati zina.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini di dalam tafsirnya, “Larangan mendekati zina lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina, karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457)
إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah dosa yang sangat besar.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/55)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata, “Allah subhanahu wata’ala menyifati perbuatan ini dan mencelanya karena ia (كَانَ فَاحِشَةً) adalah perbuatan keji.
Maksudnya adalah dosa yang sangat keji ditinjau dari kacamata syariat, akal sehat, dan fitrah manusia yang masih suci. Hal ini dikarenakan (perbuatan zina) mengandung unsur melampaui batas terhadap hak Allah dan melampaui batas terhadap kehormatan wanita, keluarganya dan suaminya. Dan juga pada perbuatan zina mengandung kerusakan moral, tidak jelasnya nasab (keturunan), dan kerusakan-kerusakan yang lainnya yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal.457)
وَسَاءَ سَبِيلًا
dan (perbuatan zina itu adalah) suatu jalan yang buruk.
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Dan zina merupakan sejelek-jelek jalan, karena ia adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelek-jelek jalan yang menyeret pelakunya kedalam neraka Jahannam.” (Tafsir Ath-Thabari, 17/438)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menafsirkan lafazh ayat (yang artinya) “suatu jalan yang buruk” dengan perkataannya, “Yaitu jalannya orang-orang yang berani menempuh dosa besar ini.” (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 457)
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa Allah subhanahu wata’ala mengabarkan tentang akibat perbuatan tersebut. Bahwasannya perbuatan tersebut adalah sejelek-jelek jalan. Karena yang demikian itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan, kehinaan, dan kerendahan di dunia serta mengantarkan kepada adzab dan kehinaan di akhirat. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 206)
Hal-hal yang mengantarkan kepada perbuatan zina
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Islam menutup rapat-rapat semua celah yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kejelekan dan kebinasaan. Atas dasar ini, disaat Allah subhanahu wata’ala melarang perbuatan zina, maka Allah subhanahu wata’ala melarang semua perantara yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Disebutkan dalam kaedah fiqih:
وَسَائِلُ اْلأُمُورِ كَالْمَقَاصِدِ
Perantara-perantara seperti hukum yang dituju.
Zina adalah perbuatan haram, maka semua perantara/wasilah yang dapat mengantarkan kepada zina juga haram hukumnya. Diantara perkara yang dapat mengatarkan seseorang kepada zina adalah:
1. Memandang wanita yang tidak halal baginya
Penglihatan adalah nikmat Allah subhanahu wata’ala yang sejatinya disyukuri hamba-hambanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An-Nahl: 78). Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya. Justru digunakan untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Untuk melihat wanita-wanita yang tidak halal baginya. Terlebih di era globalisasi ini dengan segenap kecanggihan teknologi dan informasi, baik dari media cetak maupun elektronik, seperti internet, televisi, handphone, majalah, koran, dan lain sebagainya, yang notabene-nya menyajikan gambar wanita-wanita yang terbuka auratnya. Dengan mudahnya seseorang menikmati gambar-gambar tersebut. Sungguh tak sepantasnya seorang hamba yang beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu.
Pandangan adalah sebab menuju perbuatan zina. Atas dasar ini, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Katakanlah (wahai nabi), kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan memelihara kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka.” (An-Nur: 30-31)
Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Termasuk menjaga kemaluan adalah menjaganya dari: zina, homosex, lesbian, dan agar tidak tersingkap serta terlihat manusia. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, Al-Imam Asy-Syinqithi 6/126)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah perintah Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dari apa yang diharamkan. Maka janganlah mereka memandang kecuali kepada apa yang diperbolehkan untuk dipandangnya. Dan agar mereka menjaga pandangannnya dari perkara yang diharamkan. Jika kebetulan pandangannya memandang perkara yang diharamkan tanpa disengaja, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya dari shahabat Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku bertanya kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan secara tiba-tiba, maka beliau memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/399)
Manakala perbuatan zina bermula dari pandangan, Allah subhanahu wata’ala menjadikan perintah menahan pandangan lebih dikedepankan ketimbang menjaga kemaluan. Karena semua kejadian bersumber dari pandangan. Sebagaimana api yang besar bermula dari api yang kecil. Bermula dari pandangan, lalu terbetik di dalam hati, kemudian melangkah, akhirnya terjadilah perbuatan zina. (Lihat Al-Jawab Al- Kafi, hal. 207)
2. Menyentuh wanita yang bukan mahramnya
Menyentuh wanita yang bukan mahram adalah perkara yang di anggap biasa dan lumrah ditengah masarakat kita. Disadari atau tidak, perbuatan tersebut merupakan pintu setan untuk menjerumuskan anak Adam kepada perbuatan fahisyah (keji), seperti zina. Oleh karena itu, Islam melarang yang demikian itu, bahkan mengancamnya dengan ancaman yang keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لأَنْ يَطْعَنَ فيِ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani, no. 16880, 16881)
Dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Hadits tersebut juga sebagai dalil tentang haramnya berjabat tangan dengan wanita (yang tidak halal baginya). Dan sungguh kebanyakan kaum muslimin di zaman ini terjerumus dalam masalah ini. (Lihat Ash-Shahihah, no. 1/395)
Dalam hadits lain dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Ditetapkan atas anak cucu Adam bagiannya dari zina akan diperoleh hal itu tidak mustahil. Kedua mata zinanya adalah memandang (yang haram). Kedua telinga zinanya adalah mendengarkan (yang haram). Lisan zinanya adalah berbicara (yang haram). Tangan zinanya adalah memegang (yang haram). Kaki zinanya adalah melangkah (kepada yang diharamkan). Sementara hati berkeinginan dan berangan-angan, sedang kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
3. Berkhalwat (berduaan) di tempat sepi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dalam haditsnya yang agung:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Betapa banyak orang yang mengabaikan bimbingan yang mulia ini, akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kita berlindung kepada-Nya dari perbuatan tersebut.
Ber-khalwat (berduaan) dengan wanita yang bukan mahramnya adalah haram. Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya kecuali ketiganya adalah setan. Apa dugaan anda jika yang ketiganya adalah setan? Dugaan kita keduanya akan dihadapkan kepada fitnah. Termasuk berkhalwat (yang dilarang) adalah berkhalwat dengan sopir. Yakni jika seseorang mempunyai sopir pribadi, sementara dia mempunyai istri atau anak perempuan, tidak boleh baginya membiarkan istri atau anak perempuannya pergi berduaan bersama si sopir, kecuali jika disertai mahramnya. (Lihat Syarah Riyadhus Shalihin Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, 6/369)
4. Berpacaran
Berpacaran adalah suatu hal yang lumrah di kalangan muda-mudi sekarang. Padahal, perbuatan tersebut merupakan suatu perangkap setan untuk menjerumuskan anak cucu Adam ke dalam perbuatan zina.
Dalam perbuatan berpacaran itu sendiri sudah mengandung sekian banyak kemaksiatan, seperti memandang, menyentuh, dan berduaan dengan wanita yang bukan mahramnya, yang notabene merupakan zina mata, lisan, hati, pendengaran, tangan, dan kaki.
Itulah diantara hal-hal yang dapat mengantarkan anak cucu Adam kepada perbuatan zina. Barangsiapa menjaganya, selamatlah agamanya, insya Allah. Sebaliknya, barangsiapa lalai dan menuruti hawa nafsunya, kebinasaanlah baginya. Kita berlindung kepada Allah I dari kejelekan diri-diri kita. Amin.
Kerusakan yang disebabkan perbuatan zina
Kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan zina adalah termasuk kerusakan yang sangat berat. Diantaranya adalah merusak tatanan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan) maupun penjagaan kehormatan, dan menyebabkan permusuhan diantara sesama manusia.
Al Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak mengetahui dosa besar apa lagi yang lebih besar setelah membunuh jiwa selain dari pada dosa zina.” Kemudian beliau v menyebutkan ayat ke-68 sampai ayat ke-70 dari surat Al Furqan. (Lihat Al-Jawab Al-Kafi, hal 207)
Nasehat untuk kaum muslimin
Para pembaca yang kami muliakan, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati seorang hamba, itu semua akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak. Yang pada hari itu anggota badan seorang hamba; tangan, kaki, dan kulit akan menjadi saksi atas apa yang telah mereka perbuat. Manusia adalah tempat kesalahan dan dosa. Semua anak cucu Adam pernah berbuat kesalahan. Sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang paling cepat bertaubat.
Tolak ukur kebaikan seorang hamba bukanlah terletak pada pernah atau tidaknya dia berbuat kemaksiatan. Akan tetapi yang menjadi tolak ukur adalah orang yang segera bertaubat manakala berbuat kemaksiatan, serta tidak terus menerus berada dalam kubangan kemaksiatan.
Segeralah bertaubat, wahai hamba-hamba Allah, sebelum ajal menjemputmu! Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka Itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan yang hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, barulah ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” (An-Nisaa’: 17-18)
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA ( MUI )
Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya
JAKARTA (voa-islam.com) - Keresahan umat sebagai dampak putusan MK RI No. 46/PUU-VIII/2010 tentang anak-anak di luar perkawinan direspon MUI dengan mengeluarkan fatwa mengenai “Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakukan Terhadapnya.”
Fatwa tersebut menepis berbagai syubuhat (kerancuan) di tengah umat Islam dan menyatakan dengan tegas kedudukan anak hasil zina dalam Islam, sehingga tak perlu ragu lagi berpegang terhadap aturan syari'at Islam yang telah ditetapkan oleh Allah dan bukan aturan yang lain yang dibuat manusia.
Agar dapat dibaca dan diakses oleh umat Islam seluas-luasnya maka redaksi voa-islam.com memuat fatwa tersebut. Berikut ini kutipan lengkap fatwa MUI berkaitan dengan anak hasil zina yang dikeluarkan Sabtu (10/3/2012).
FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA ( MUI )
Nomor: 11 Tahun 2012
Tentang
KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG:
a. bahwa dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina;
b. bahwa dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu;
c. bahwa terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya;
d. bahwa terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam;
e. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT:
1. Firman Allah SWT:
a. Firman Allah yang mengatur nasab, antara lain :
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (QS. Al-Furqan : 54).
b. Firman Allah yang melarang perbuatan zina dan seluruh hal yang mendekatkan ke zina, antara lain:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).
وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً آخَرَ وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلاَ يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَاناً
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” (QS. Al-Furqan: 68 – 69)
c. Firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kejelasan nasab dan asal usul kekerabatan, antara lain:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ ِلأَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab: 4 – 5).
وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ
“.... (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) “ (QS. Al-Nisa: 23).
d. Firman Allah yang menegaskan bahwa seseorang itu tidak memikul dosa orang lain, demikian juga anak hasil zina tidak memikul dosa pezina, sebagaimana firman-Nya:
وَلاَ تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلاَّ عَلَيْهَا وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain526. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (QS. Al-Zumar: 7)
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
a. hadis yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman, antara lain:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِي غُلَامٍ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِي عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَيَّ أَنَّهُ ابْنُهُ انْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ وَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِي يَا رَسُولَ اللَّهِ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي مِنْ وَلِيدَتِهِ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ وَاحْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ فَلَمْ يَرَ سَوْدَةَ قَطُّ. رواه البخارى ومسلم
Dari ‘Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa’d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam’ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa’d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak saudara saya ‘Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. ‘Abd ibn Zum’ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan ‘Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai ‘Abd ibn Zum’ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam’ah. Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: قام رجل فقال: يا رسول الله، إن فلانًا ابني، عَاهَرْتُ بأمه في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا دعوة في الإسلام، ذهب أمر الجاهلية، الولد للفراش، وللعاهر الحجر. رواه أبو داود
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata: Ya rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih masa jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud)
b. hadis yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya, antara lain:
قال النبي صلى الله عليه وسلم في ولد الزنا " لأهل أمه من كانوا" . رواه أبو داود
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud)
c. hadis yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain:
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: " أيما رجل عاهر بحرة أو أمة فالولد ولد زنا ، لا يرث ولا يورث " رواه الترمذى - سنن الترمذى 1717
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)
d. hadis yang menerangkan larangan berzina, antara lain:
عن أبي مرزوق رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قال غزونا مع رويفع بن ثابت الأنصاري قرية من قرى المغرب يقال لها جربة فقام فينا خطيبا فقال أيها الناس إني لا أقول فيكم إلا ما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول قام فينا يوم حنين فقال لا يحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره . أخرجه الإمام أحمد و أبو داود
Dari Abi Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi’ ibn Tsabit berperang di Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato: “Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya dengar dari rasulullah saw pada saat perang Hunain seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya menyirampan air (mani)nya ke tanaman orang lain (berzina)’ (HR Ahmad dan Abu Dawud)
e. hadis yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa dosa, antara lain:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه . رواه البخارى ومسلم
Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR al-Bukhari dan Muslim)
3. Ijma’ Ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.
وأجمعت الأمة على ذلك نقلاً عن نبيها صلى الله عليه وسلم، وجعل رسول الله صلى الله عليه وسلم كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقًا به على كل حال، إلا أن ينفيه بلعان على حكم اللعان
Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an, maka hukumnya hukum li’an.
Juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123) sebagai berikut:
وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه
Para Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.
4. Atsar Shahabat, Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab ra berwasiat untuk senantiasa memperlakukan anak hasil zina dengan baik, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Shan’ani dalam “al-Mushannaf” Bab ‘Itq walad al-zina” hadits nomor 13871.
5. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan menutup peluang sekecil apapun terjadinya zina serta akibat hukumnya.
6. Qaidah ushuliyyah :
الأ صل في النهي يقتضي فساد المنهي عنه
“Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut”
لا اجتهاد في مورد النص
“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”
7. Qaidah fiqhiyyah :
لِلْوَسَائِلَ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju"
الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
“Segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin”.
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.
يُتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ
“Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”
إِذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتَانِ أَوْ ضَرَرَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
"Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil."
تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصَلَحَةِ
“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai, sebagaimana termaktub dalam beberapa kutipan berikut:
a. Ibn Hajar al-‘Asqalani:
نقل عن الشافعي أنه قال: لقوله “الولد للفراش” معنيان: أحدهما
هو له مالم ينفه، فإذا نفاه بما شُرع له كاللعان انتفى عنه، والثاني: إذا تنازع رب الفراش والعاهر فالولد لرب الفراش” ثم قال: “وقوله: “وللعاهر الحجر”، أي: للزاني الخيبة والحرمان، والعَهَر بفتحتين: الزنا، وقيل: يختص بالليل، ومعنى الخيبة هنا: حرمان الولد الذي يدعيه، وجرت عادة العرب أن تقول لمن خاب: له الحجر وبفيه الحجر والتراب، ونحو ذلك، وقيل: المراد بالحجر هنا أنه يرجم. قال النووي: وهو ضعيف، لأن الرجم مختصّ بالمحصن، ولأنه لا يلزم من رجمه نفي الولد، والخبر إنما سيق لنفي الولد، وقال السبكي: والأول أشبه بمساق الحديث، لتعم الخيبة كل زان”
Diriwayatkan dari Imam Syafe’i dua pengertian tentang makna dari hadist “ Anak itu menjadi hak pemillik kasur/suami “ .
Pertama : Anak menjadi hak pemilik kasur/suami selama ia tidak menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik kasur/suami menafikan anak tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam syariah, seperti melakukan Li’an, maka anak tersebut dinyatakan bukan sebagai anaknya.
Kedua : Apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami dengan laki-laki yang menzinai istri/budak wanitanya, maka anak tersebut menjadi hak pemilik kasur/suami.
Adapun maksud dari “ Bagi Pezina adalah Batu “ bahwa laki-laki pezina itu keterhalangan dan keputus-asaan. Maksud dari kata Al-‘AHAR dengan menggunakan dua fathah (pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari.
Oleh karenanya, makna dari keptus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina tersebut tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari perzinaannya. Pemilihan kata keputus-asaan di sini sesuai dengan tradisi bangsa arab yang menyatakan “Baginya ada batu” atau : Di mulutnya ada batu” buat orang yang telah berputus asa dari harapan.
Ada yang berpendapat bahwa pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam hanya diperuntukkan buat pezina yang mukhsan (sudah menikah). Di sisi yang lain, hadist ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hokum rajam, tapi dimaksudkan untuk sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut. Oleh karena itu Imam Subki menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu lebih sesuai dengan redaksi hadist tersebut, karena dapat menyatakan secara umum bahwa keputus-asaan (dari mendapatkan hak anak) mencakup seluruh kelompok pezina (mukhsan atau bukan mukhsan).
b. Pendapat Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anatu al-Thalibin” juz 2 halaman 128 sebagai berikut:
ولد الزنا لا ينسب لأب وإنما ينسب لأمه
Anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.
c. Pendapat Imam Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhalla juz 10 halaman 323 sebagai berikut :
والولد يلحق بالمرأة إذا زنت و حملت به ولا يلحق بالرجل
Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya, dan tidak dinasabkan kepada lelaki.
2. Pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq”:
وَيَرِثُ وَلَدُ الزِّنَا وَاللِّعَانِ مِنْ جِهَةِ الأمِّ فَقَطْ ؛ لأنَّ نَسَبَهُ مِنْ جِهَةِ الأبِ مُنْقَطِعٌ فَلا يَرِثُ بِهِ وَمِنْ جِهَةِ الأمِّ ثَابِتٌ فَيَرِثُ بِهِ أُمَّهُ وَأُخْتَه مِنْ الأمِّ بِالْفَرْضِ لا غَيْرُ وَكَذَا تَرِثُهُ أُمُّهُ وَأُخْتُهُ مِنْ أُمِّهِ فَرْضًا لا غَيْرُ
Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan jalan lain.
3. Pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin) sebagai berikut :
ويرث ولد الزنا واللعان بجهة الأم فقط لما قد مناه فى العصبات أنه لا أب لهما
Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang Ashabah, karena anak hasil zina tidaklah memiliki bapak.
4. Pendapat Ibnu Taymiyah dalam kitab “al-Fatawa al-Kubra” :
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي اسْتِلْحَاقِ وَلَدِ الزِّنَا إذَا لَمْ يَكُنْ فِرَاشًا ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ .كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ { صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَلْحَقَ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ زَمْعَةَ بْنِ الْأَسْوَدِ ، وَكَانَ قَدْ أَحْبَلَهَا عُتْبَةُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ، فَاخْتَصَمَ فِيهِ سَعْدٌ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ ، فَقَالَ سَعْدٌ : ابْنُ أَخِي .عَهِدَ إلَيَّ أَنَّ ابْنَ وَلِيدَةِ زَمْعَةَ هَذَا ابْنِي . فَقَالَ عَبْدٌ : أَخِي وَابْنُ وَلِيدَةِ أَبِي ؛ وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِي . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : هُوَ لَك يَا عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ ؛ احْتَجِبِي مِنْهُ يَا سَوْدَةُ } لَمَّا رَأَى مِنْ شَبَهِهِ الْبَيِّنِ بِعُتْبَةَ ، فَجَعَلَهُ أَخَاهَا فِي الْمِيرَاثِ دُونَ الْحُرْمَةِ
Para ulama berbeda pendapat terkait istilkhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si wanita tidak memiki pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita). Diriwatkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita Zam’ah ibn Aswad kepadanya (Zam’ah), padahal yang menghamili budak wanita tersebut adalah Uthbah ibn Abi Waqqosh. Sementara itu, Sa’ad menyatakan : anak dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku (Uthbah), dan aku (kata sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku sendiri”. Abd ibn Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku dan anak dari budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”. Rasulullah SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn Zam’ah, anak itu menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”, kemudian Rasulullah bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah (Saudah binti Zam’ah – Istri Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat kemiripan anak tersebut dengan Utbah, maka beliau menjadikan anak tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak waris, dan tidak menjadikannya sebagai mahram.
5. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina” yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 – 29 Desember 2010 yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada seseorang laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan kemudian melahirkan anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia berzina dengan perempuan yang tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan seorang anak, maka menurut jumhur ulama madzhab delapan, anak tersebut hanya dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka menjaga kesucian nasab dari perlikau munkarat.
6. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa pada tanggal 3, 8, dan 10 Maret 2011.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN: FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Pertama: Ketentuan Umum
Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:
a. mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b. memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Ketiga: Rekomendasi
1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:
a. hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);
b. memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.
2. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.
3. Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.
5. Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.
Keempat: Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal:
18 Rabi’ul Akhir1433 H
10 M a r e t 2012 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
FATWA MUI sumber : www.voa-islam.com
Mohon Maaf Apabila Ada Kesalahan Dalam Penulisan. Semoga artikel tentang FATWA MUI LARANGAN BERZINA di atas dapat bermanfaat. Jika ingin menduplikasi artikel ini diharapkan mencantumkan link http://ratsoffice.blogspot.com/2013/11/fatwa-mui-larangan-berzina.html. Terima Kasih.
Rats Office
Published:
2013-11-24T09:51:00-08:00
Title:FATWA MUI LARANGAN BERZINA
Author :
HOME