LANGKAH MAJU DEWAN PERS
Dewan
Pers sudah melakukan langkah maju dengan membuat standar kompetensi
wartawan. Nanti, setiap wartawan yang lulus uji kompetensi akan
mendapatkan sertifikat tunggal. Sertifikat itu yang menjadi perlambang
apakah ia pantas menjalankan tugas jurnalistik atau tidak. Dewan Pers,
sebagaimana disitat dari Koran Tempo edisi Selasa, 19 Juli 2011,
menargetkan ada 2.000 wartawan yang mengikuti uji kompetensi
selama dua tahun ini. Perusahaan pers yang punya minimal 40 wartawan
dan sudah 10 tahun beroperasi bisa menjadi lembaga penguji. Dua
organisasi pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) sedang diverifikasi Dewan Pers. Kedua
organisasi itu mengajukan diri sebagai pentelenggara uji kompetensi
wartawan. Dari simulasi yang dilakukan Lembaga Pers Dr. Sutomo, lebih
banyak wartawan muda yang berkompeten dalam uji kompetensi kewartawanan.
Sama seperti sertifikasi buat guru, uji kompetensi kewartawanan ini
menjadi penting sehingga profesionalisme kerja jurnalis lebih terjamin.
Selama ini amat banyak laporan dari masyarakat yang merasa terancam
dengan adanya wartawan yang kerap memeras. Para kepala sekolah setiap
dana BOS cair, selalu dihinggapi paranoid dengan wartawan. Para jurnalis
datang dan mengancam memberitakan penyelewengan anggaran sekolah.
Karena takut, para kepala sekolah memberikan sejumlah uang kepada oknum
wartawan. Mereka yang datang umumnya berasal dari media yang tidak
jelas. Terbitnya entah kapan, kantor pun tak jelas di mana.
Setiap kali Lebaran tiba, para kepala dinas sulit ditemui sebagai
narasumber. Usut punya usut, mereka takut didatangi wartawan yang
meminta uang THR.Yang kasihan adalah jurnalis yang memang bekerja demi
informasi. Mereka akhirnya terimbas stigma bahwa wartawan adalah
pekerjaan yang cukup dikasih uang dalam amplop kemudian bungkam. Sungguh
generalisasi yang merugikan profesi jurnalis.
Dengan adanya
standar kompetensi ini, setiap wartawan akan dibekali dengan ilmu dan
pengetahuan agar mereka bisa bekerja dengan baik. Selain itu, soal
ideologi antisuap, antiamplop dan sebagainya mesti dijadikan ideologi.
Adanya regulasi yang membatasi modal perusahaan pers juga baik. Ini
untuk menjamin wartawan dan karyawan media itu digaji dengan manusiawi.
Mungkin belum memenuhi semua kebutuhan, tapi setahap demi setahap ada ke
arah kemajuan dari sisi penggajian.
Uji kompetensi ini akan
bersih dari campur tangan pemerintah. Dewan Pers akan menggandengan
seratusan wartawan kawakan, komunitas masyarakat komunikasi, dan 48
organisasi pers.
Dalam kesempatan ini, saya ingin memberikan
sekadar masukan, standar kompetensi apa serta praktiknya, dalam
sertifikasi kewartawanan ini.
Pertama, skeptis
Wartawan meski memiliki sikap skeptis, artinya tak mudah percaya,
terutama sumber resmi. Mengapa demikian? Begini penjelasannya. Media
massa itu masuk sebagai pilar keempat demokrasi karena punya kontrol
terhadap kekuasaan. Kekuasaan dikontrol karena ia punya peluang untuk
menyeleweng. Lord Acton bilang, kekuasaan itu cenderung korup, power
tends to corrupt. Siapa pun dia, apa pun partainya, apa saja
ideologinya, jika sudah berkuasa pasti ada kans untuk menyeleweng,
korupsi, misalnya. Lantaran itu, media dan jurnalisnya memiliki tanggung
jawab untuk mengontrol. Dan karena sifatnya mengontrol, jurnalis mesti
skeptis. Kalau Badan Pusat Statistik bikin estimasi bahwa jumlah orang
miskin turun, jurnalis mesti memverifikasinya. Benarkah demikian, apa
iya dalam setahun pemerintah mampu mengangkat 1 juta rakyat dari
kemiskinan menjadi sejahtera, dan sebagainya? Rilis pemerintah
hakulyakin membagus-baguskan, tetapi jurnalis punya langkah untuk
membuktikannya di lapangan. Bukan berarti yang bagus-bagus dari
pemerintah tak diangkat sebagai artikel berita. Bad news is good news,
but good news is still news. Soal prestasi seorang Joko Widodo, Wali
Kota Solo, itu juga mesti diangkat karena ia inspiratif. Jelas bukan
makna skeptis.
Kedua, cerdas
Kecerdasan tak sekadar
dilihat dari basis teori yang dimiliki wartawan. Kalau sekadar ini,
wartawan dari lulusan komunikasi, publisistik mungkin lebih mengerti.
Tapi yang dimaksud tentu saja apakah wartawan mampu mreportase,
mewawancarai, dan menulis berita dengan baik. Paul McKalip, editor
harian Tucson Citizen di Arizona, As, juga mewasiatkan soal “cerdas” di
urutan pertama syarat menjadi wartawan.
Seoranf jurnalis harus
mampu menangkap hal yang istimewa dari sebuah kejadian. Ia mesti
berpikir holistik dari sebuah kasus yang mungkin skopnya kecil. Misal
ada kecelakaan lalu lintas. Ia mesti berpikir mengapa setiap hari ada
kecelakaan. Apa yang menyebabkannya, apakah dari sisi pengendara atau
karena jalan banyak berlubang. Ia juga mesti bisa menangkap sudut
pandang terbaik dari sebuah peristiwa. Jika ada seminar, contohnya,
wartawan yang baik tak sekadar melaporkan soal seminar. Ia mesti
mewartakan data menarik yang diuangkap narasumber dalam acara itu,
tentunya yang berkenaan dengan publik.
Ketiga, punya
kepribadian yang fleksibel Menjadi jurnalis mesti punya kepribadian yang
supel dan fleksibel. Karena wartawan acap dimutasi dari satu pos
liputan ke liputan lain, ia harus mudah menyesuaikan dengan lingkungan
kerjanya yang baru. Fleksibilitas inilah yang kadang membuka ruang
informasi buat wartawan. Jurnalis yang kaku hanya membuat penghalang
antara dirinya dan masyarakat, terlebih narasumber. Fleksibel, akrab,
dan supel bukan berarti berakrab-akrab dengan narasumber sehingga tak
ada jarak lagi. Kesupelannya tak lebih dalam koridor kerja dan menjaga
pertemanan. Selebihnya, tugas jurnalistik adalah yang utama. Julian
Harris, Kelly Leiter, dan Stanley Johnson juga mewasiatkan soal pribadi
yang fleksibel dan berkemampuan sosial yang tinggi buat jurnalis.
Keempat, mampu memenuhi tenggat
Deadline adalah harga mati. Telat dalam memenuhi tenggat akan
berpengaruh pada proses produksi berita. Di media cetak, terlambat
wartawan melaporkan tulisannya kepada redaktur, membuat jam kerja
terganggu. Mesin cetaknya pun akan telat bekerja. Bekerja di bidang
jurnalistik adalah beraktivitas dalam sistem kerja. Satu subsistemnya
terganggu, yang lain juga demikian.
Mematuhi tenggat adalah
juga syarat yang mesti dimiliki wartawan. Kompetensi jurnalis salah
satunya mampu memenuhi tekanan tenggat yang ketat.
*
Uji kompetensi mungkin tak serta-merta menjadikan dunia media massa
Indonesia sekaligus baik. Tapi setidaknya, buat penggawanya, para
jurnalis, media mampu berkontribusi terhadap keperluan masyarakat
terhadap informasi. Kita juga menginginkan tidak ada lagi sosok wartawan
yang cuma minta uang tanpa punya berita. Di atas itu, kita berharap
para jurnalis makin profesional dalam bekerja. Dan sebanding dengan itu,
kita juga mendorong media massa agar memperikan upah yang layak buat
wartawan dan karyawannya. Pendapatan besar memang tak lantas membuat
orang bersyukur dengan rezeki yang diterima. Namun, itu paling tidak
menutup peluang wartawan permisif terhadap pemberian narasumber berupa
uang. Apalagi dengan dibekali sejumlah ideologi, maka jurnalis tak
sekadar bervisi duit dalam bekerja. Lebih dari itu, kepuasan dalam
memberikan informasi yang layak buat masyarakat, adalah sesuatu yang
utama. Ah, gila, di zaman sekarang, lebih berpikir soal kepuasan dan
kebangaan daripada kesejahteraan, itu mungkin yang terpikir. Akan
tetapi, jadi “orang gila” memang jadi satu syarat tak tertulis untuk
menjadi wartawan. David S Broder, peraih Pulitzer tahun 1973, pernah
berkata, “Hanya orang ‘gila’-lah yang memilih wartawan sebagai
profesinya.
Sumber : Rekan Wartawan (Andi Y)
Mohon Maaf Apabila Ada Kesalahan Dalam Penulisan. Semoga artikel tentang LANGKAH MAJU DEWAN PERS di atas dapat bermanfaat. Jika ingin menduplikasi artikel ini diharapkan mencantumkan link http://ratsoffice.blogspot.com/2014/05/langkah-maju-dewan-pers.html. Terima Kasih.
Rats Office
Published:
2014-05-12T08:17:00-07:00
Title:LANGKAH MAJU DEWAN PERS
Author :
HOME